Pemerintah Indonesia tengah mempertimbangkan kebijakan baru: pengenaan cukai pada makanan olahan siap saji. Wacana itu termaktub dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (PP 28/2024). Meski menuai polemik di masyarakat, langkah ini sejatinya bertujuan baik, yakni untuk mengendalikan konsumsi gula, garam, dan lemak yang berlebihan, yang sering kali terkandung dalam jenis makanan tersebut. Lalu, bagaimana definisi pangan olahan siap saji berdasarkan PP 28/2024, bagaimana ketentuan lengkapnya, dan kapan akan diterapkan?
Definisi Pangan Olahan Siap Saji Menurut PP 28/2024
PP 28/2024 yang diteken Presiden Joko Widodo pada 26 Juli 2024 ini memberikan penjelasan yang lebih rinci tentang jenis pangan olahan dan pangan olahan siap saji. Dalam bagian penjelasan Pasal 194, dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu, baik menggunakan bahan tambahan maupun tidak. Ini mencakup berbagai teknik pengolahan, mulai dari pemanasan, pengawetan, hingga proses fermentasi atau pengemasan yang bertujuan untuk meningkatkan masa simpan atau memperbaiki cita rasa.
Di sisi lain, pangan olahan siap saji didefinisikan sebagai makanan atau minuman yang telah melalui proses pengolahan hingga siap untuk langsung disajikan kepada konsumen, baik di tempat usaha maupun di luar tempat usaha. Definisi ini mencakup berbagai bentuk layanan makanan, seperti yang disediakan oleh jasa boga, hotel, restoran, rumah makan, kafetaria, kantin, pedagang kaki lima, gerai makanan keliling, hingga penjaja makanan keliling atau usaha sejenis.
Artinya, dengan cakupan yang luas ini, definisi pangan olahan siap saji dalam PP 28/2024 tidak hanya menyentuh aspek praktis penyajian makanan, tetapi juga mencerminkan beragamnya sektor usaha yang menyediakan layanan makanan siap saji, yang semakin menjadi bagian integral dari gaya hidup modern.
Latar Belakang Wacana Pengenaan Cukai pada Pangan Olahan Siap Saji
Opsi pengenaan cukai pada pangan olahan siap saji sejatinya tercantum dalam Bagian Kedelapan tentang Penanggulangan Penyakit Tidak Menular (PTM) di PP 28/2024. Langkah pengenaan cukai ini dirancang sebagai bagian dari upaya pengendalian faktor risiko atas penanggulangan PTM tersebut, yang dapat berupa kegiatan pengendalian konsumsi gula, garam, dan lemak.
Betapa tidak, konsumsi berlebihan dari zat-zat ini telah terbukti berkontribusi pada peningkatan kasus penyakit tidak menular seperti diabetes, jantung koroner, dan obesitas. Dikutip dari data dari Badan Pusat Statistik (BPS), penyakit tidak menular diklaim menjadi penyebab utama kematian di Indonesia, dengan 66 persen dari total kematian disebabkan oleh penyakit ini.
Pada tahun 2016, prevalensi penyakit tidak menular berkontribusi pada 73 persen dari seluruh kematian di Indonesia. Penyakit jantung dan pembuluh darah, diabetes, serta kanker adalah beberapa penyakit tidak menular yang paling banyak menyebabkan kematian.
Atas data-data tersebut, pemerintah memang sudah sepatutnya memberikan ketentuan pengenaan cukai terhadap pangan olahan siap saji ini. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh masyarakat tetap dalam batas aman dan tidak membahayakan kesehatan. Upaya pada pengendalian faktor risiko ini dapat menjadi salah satu langkah efektif dalam menurunkan angka prevalensi, sehingga ujung-ujungnya bisa menurunkan angka kematian akibat penyakit tidak menular di Indonesia.
Ketentuan Pengenaan Cukai atas Pangan Olahan Siap Saji di PP 28/2024
Ketentuan pengenaan cukai atas pangan olahan siap saji diatur dalam Pasal 194 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024. Pasal ini menyatakan bahwa Pemerintah Pusat dapat menetapkan pengenaan cukai terhadap pangan olahan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Lebih lanjut, Pasal 194 juga memberikan wewenang kepada pemerintah untuk menentukan batas maksimal kandungan gula, garam, dan lemak dalam pangan olahan, termasuk pangan olahan siap saji. Namun, penentuan batas maksimal kandungan gula, garam, dan lemak ini harus mempertimbangkan kajian risiko serta standar internasional.
Bukan itu saja, pemerintah juga mengharuskan setiap orang yang memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan pangan olahan termasuk pangan olahan siap saji untuk memenuhi ketentuan batas maksimum kandungan gula, garam dan lemak, dan menyantumkan label gizi termasuk kandungan gula, garam, dan lemak pada kemasan untuk pangan olahan atau pada media informasi untuk pangan olahan siap saji.
Jika kandungan gula, garam, dan lemak dalam pangan olahan, termasuk pangan olahan siap saji, melebihi batas maksimum yang ditetapkan, maka produsen, pengimpor, dan penjual dilarang melakukan iklan, promosi, serta sponsor kegiatan pada waktu, lokasi, dan kelompok sasaran tertentu. Pemerintah juga menegaskan kepada setiap orang yang melanggar ketentuan tersebut akan dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis, denda administratif, penghentian sementara dari kegiatan produksi dan/atau peredaran produk, penarikan pangan olahan dari peredaran, hingga pencabutan perizinan berusaha.
Kapan Pengenaan Cukai pada Pangan Olahan Siap Saji Diterapkan?
Adanya penegasan bahwa cukai dapat dikenakan pemerintah terhadap pangan olahan siap saji yang disediakan oleh berbagai sektor usaha kuliner, termasuk pedagang kaki lima, gerai makanan keliling, dan penjaja makanan keliling membuat wacana ini menuai polemik di kalangan masyarakat. Pasalnya, hal ini dapat menyumbat keberlangsungan pelaku usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) di sektor makanan atau minuman olahan cepat saji.
Meskipun wacana pengenaan cukai pada makanan olahan dan siap saji telah diatur dalam PP 28/2024, pemerintah belum akan menerapkan kebijakan ini dalam waktu dekat. Direktur Jenderal Bea dan Cukai (Bea Cukai) Askolani, menyatakan bahwa ketentuan ini masih bersifat opsi dan belum menjadi prioritas untuk segera diimplementasikan.
Askolani bilang, pemerintah juga masih menunggu kajian lebih lanjut dari Kementerian Kesehatan dan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) terkait dampak dan efektivitas kebijakan ini sebelum mengambil langkah lebih lanjut. Ia pun menekankan bahwa proses penerapan cukai ini memerlukan koordinasi dan pembahasan yang mendalam dengan berbagai pihak terkait, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Oleh karena itu, meskipun kebijakan ini diharapkan dapat membantu mengendalikan konsumsi gula, garam, dan lemak yang berlebihan, implementasinya masih memerlukan waktu dan persiapan yang matang.
“Kami support dari Bea Cukai, jadi ada proses yang harus kita lalui,” pungkas Askolani.